T
|
awuran sepertinya sudah menjadi bagian
dari budaya bangsa Indonesia. Sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya
masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu
menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi
kolom-kolom media cetak, tetapi tawuran antar polisi dan tentara , antar polisi
pamong praja dengan pedagang kaki lima, sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang terjadi di
masyarakat kita.
Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh
banyak faktor. Pada tingkat mikro, rendahnya kualitas pribadi dan sosial siswa
mendorong mereka berprilaku yang tidak pronorma. Pada tingkat messo, buruknya
kualitas dan manajemen pendidikan mendorong rasa frustasi anak yang
dilampiaskan pada tindakan negatif, termasuk tawuran. Di tingkat makro,
persoalan pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi sumbangan
tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa) yang merasa kehilangan
harapan untuk hidup layak. Pembahasan pada artikel ini dibatasi pada bidang
pendidikan.
Sekolah sebagai “Pembunuh” Siswa
Beragam “prestasi buruk” selama ini
menghadapkan pendidikan pada pertanyaan mendasar tetapi sangat fundamental:
sejauhmana efektivitas pendidikan bagi peningkatan kualitas siswa. Pertanyaan
mendasar tersebut layak dikedepankan mengingat sumbangsih pendidikan bagi
masyarakat belum terlihat secara kasat mata. Padahal “investasi” yang diserap
dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum berhasil menjadi solusi bagi
kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya: menciptakan masalah bagi
masyarakat.
Tawuran antar pelajar maupun tawuran
antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki
selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak
merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan
masyarakat.Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan
geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang
tidak terpuji seperti itu.
Biasanya permusuhan antar sekolah
dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil tingkat
emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya
dendam Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut akan membalas
perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap merugikan seorang
siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut.
Sebenarnya jika kita mau melihat lebih
dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa
yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah. Sebagaimana kita tahu bahwa
materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup berat . Akhirnya stress yang
memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh. Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah” bagi beragam kepentingan.
Banyaknya bidang kajian menjadikan
substansi pengetahuan menjadi sedikit, tetapi terlalu montok. Akhirnya kita
lupa, bahwa apa yang dipelajari siswa “tidak bermanfaat”. Sudah sumpeg, metode
pembelajarannya pun represif. Modus pembelajaran yang monolog oleh guru terasa
benar miskin makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya ingat
siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas cermat.
Akibat kurikulum yang terlalu berat
menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena
siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan
masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah
tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai
aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan
menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di
jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang akrab di
masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas penyakit
jantung.
Siswa bukan hanya terbunuh secara fisik
karena tawuran, tetapi juga terbunuh bakat dan potensinya. Banyak talenta siswa
yang semestinya bisa dikembangkan dalam bidang olahraga, seni, bahasa, atau
jurnalistik, hilang sia-sia akibat “mabuk” belajar fisika dan matematika.
Dari aspek fisik,tawuran dapat
menyababkan kematian dan luka berat bagi para siswa. Kerusakan yang parah pada
kendaraan dan kaca gedung atau rumah yang terkena lemparan batu.sedangkan aspek
mentalnya , tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa yang menjadi
korban, merusak mental para generasi muda, dan menurunkan kualitas pendidikan
di Indonesia.
Seorang kawan secara berkelakar
mengatakan lebih enak bekerja daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9
sampai 4 sore (7 jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah
pukul 7 sampai 13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat
malam hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6
hari perminggu.
Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap
overload ini? Karena sudah “terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi
semua programnya. Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan
perombakan? Itulah masalahnya. Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”.
Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan kualitas
pendidikan. Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat mereka tidak berani
melakukan perubahan. Sebab, mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan
pangkatnya. Lebih baik “adem ayem” kenaikan pangkat lancar daripada “kritis”
tetapi terancam.
Setelah kita tahu akar permasalahannya ,
sekarang yang terpenting adalah bagaimana menemukan solusi yang tepat untuk
menyelesaikan persoalan ini. Dalam hal ini, seluruh lapisan masyarakat yaitu,
orang tua , guru/sekolah dan pemerintah.
Pendidikan yang paling dasar dimulai
dari rumah.Orang tua sendiri harus aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik juga
barangkali perlu dirubah.Orang tua seharusnya tidak mendikte anak, tetapi
memberi keteladanan.Tidak mengekang anak dalam beraktifitas yang positif.
Menghindari kekerasan dalam rumah tangga sehingga tercipta suasana rumah yang
aman dan nyaman bagi tumbuh kembang si anak Menanamkan dasar-dasar agama pada
proses pendidikan. Tidak kalah penting adalah membatasi anak melihat kekerasan
yang ditayangkan Televisi. Media ini memang paling jitu dalam proses
pendidikan.Orang tua harus pandai-pandai memilih tontonan yang positif sehingga
bisa menjadi tuntunan buat anak.Untuk membatasi tantonan untuk usia remaja
memang lumayan sulit bagi orang tua.Karena internetpun dapat diakses secara
bebas dan orang tua tidak bisa membendung perkembangan sebuah teknologi Filter
yang baik buat anak adalah agama dengan agama si anak bisa membentengi dirinya
sendiri dari pengaruh buruk apapun dan dari manapun.Dan pendidikan anak tidak
seharusnya diserahkan seratus persen pada sekolah.
Peranan sekolah juga sangat penting
dalam penyelesaian masalah ini. Untuk meminimalkan tawuran antar pelajar,
sekolah harus menerapkan aturan tata tertib yang lebih ketat, agar siswa/i
tidak seenaknya keluyuran pada jam – jam pelajaran di luar sekolah. Yang kedua
peran BK ( Bimbingan Konseling harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental
siswa, Membatu menemukan solusi bagi siswa yang mempunyai masalah sehingga
persoalan-persoalan siswa yang tadinya dapat jadi pemicu sebuah tawuran dapat
dicegah. Yang ketiga mengkondisikan suasana sekolah yang ramah dan penuh kasih
sayang . Peran guru disekolah semestinya tidak hanya mengajar tetapi
menggatikan peran orang tua mereka. Yakni mendidik.Yang keempat penyediaan
fasilitas untuk menyalurkan energi siswa. Contohnya menyediakan program ektra
kurikuler bagi siswa.Pada usia remaja energi mereka tinggi, sehingga perlu
disalurkan lewat kegiatan yang positif sehingga tidak berubah menjadi
agresivitas yang merugikan.
Dalam penyelenggaraan kegiatan
ekstrakurikuler Ini sekolah membutuhkan prasarana dan sarana, seperti arena
olahraga dan perlengkapan kesenian, yang sejauh ini di banyak sekolah belum
memadai, malah cenderung kurang. Oleh karenanya, pemerintah perlu mensubsidi
lebih banyak lagi fasilitas olahraga dan seni. Dari segi hukum demikian
juga.Pemerintah harus tegas dalam menerapkan sanksii hukum Berilah efek jerah
pada siswa yang melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali
jika akan melakukan tawuran lagi.Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa
yang berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini.
Perubahan sosial yang diakibatkan karena
sering terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan. Selain
itu,menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan social masyarakatnya..
Dalam bukunya yang berjudul “Dinamika
Masyarakat Indonesia”, Prof. Dr. Awan Mutakin, dkk berpendapat bahwa sistem
sosial yang stabil ( equilibrium ) dan berkesinambungan ( kontinuitas ) senantiasa
terpelihara apabila terdapat adanya pengawasan melalui dua macam mekanisme
sosial dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial (kontrol sosial).
- 1. Sosialisasi maksudnya adalah suatu proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adapt istiadat ( norma ) suatu kelompok yang ada dalam sistem social , sehingga lambat laun yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari kelompok yang bersangkutan.
- 2. Pengawasan sosial adalah, “ proses yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi norma dan nilai”. Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian atau pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. (Soekanto,1985:113).