Latar Belakang
T
|
Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh banyak faktor.
Pada tingkat mikro, rendahnya kualitas pribadi dan sosial siswa mendorong
mereka berprilaku yang tidak pronorma. Pada tingkat messo, buruknya kualitas
dan manajemen pendidikan mendorong rasa frustasi anak yang dilampiaskan pada
tindakan negatif, termasuk tawuran. Di tingkat makro, persoalan pengangguran,
kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi sumbangan tinggi bagi terbentuknya
masyarakat (termasuk siswa) yang merasa kehilangan harapan untuk hidup layak.
Pembahasan pada artikel ini dibatasi pada bidang pendidikan.
Sekolah sebagai “Pembunuh” Siswa
Beragam “prestasi buruk” selama ini menghadapkan
pendidikan pada pertanyaan mendasar tetapi sangat fundamental: sejauhmana
efektivitas pendidikan bagi peningkatan kualitas siswa. Pertanyaan mendasar
tersebut layak dikedepankan mengingat sumbangsih pendidikan bagi masyarakat
belum terlihat secara kasat mata. Padahal “investasi” yang diserap dunia
pendidikan sangat besar. Pendidikan belum berhasil menjadi solusi bagi
kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya: menciptakan masalah bagi
masyarakat.
Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja
semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu
dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa
perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan
masyarakat.Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan
geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang
tidak terpuji seperti itu.
Kekerasan sudah dianggap sebagai pemecah masalah
yang sangat efektif yang dilakukan oleh para remaja. Hal ini seolah menjadi
bukti nyata bahwa seorang yang terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang
bersifat anarkis, premanis, dan rimbanis. Tentu saja perilaku buruk ini tidak hanya
merugikan orang yang terlibat dalam perkelahian atau tawuran itu sendiri tetapi
juga merugikan orang lain yang tidak terlibat secara langsung.
Pengertian
Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat
diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar”
adalah seorang manusia yang belajar. Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah
perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut
dilakukan oleh orang yang sedang belajar
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan
pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja
(juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat
digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
1. Delikuensi
situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan”
mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan
untuk memecahkan masalah secara cepat.
2. Delikuensi
sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu
organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu
yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh
kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja akan cenderung
membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah para remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya
peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok
teman sebayanya.
Penyebab
Terjadinya Tawuran
Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari
masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil tingkat emosinya
justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan. Pemicu lain biasanya dendam
Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut akan membalas
perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap merugikan seorang
siswa atau mencemarkan nama baik sekolah tersebut.
Sebenarnya jika kita mau melihat lebih dalam lagi,
salah satu akar permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa yang tinggi dan
pemahaman agama yang masih rendah. Sebagaimana kita tahu bahwa materi
pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup berat . Akhirnya stress yang memuncak
itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang tidak terkendali yaitu tawuran.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah
kurikulum yang dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur
tangan pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah
dalam penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan
“kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada
pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri ingin ada pelajaran teknis
kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh. Akibatnya batok kepala
siswa menjadi “keranjang sampah” bagi beragam kepentingan.
Banyaknya bidang kajian menjadikan substansi
pengetahuan menjadi sedikit, tetapi terlalu montok. Akhirnya kita lupa, bahwa
apa yang dipelajari siswa “tidak bermanfaat”. Sudah sumpeg, metode
pembelajarannya pun represif. Modus pembelajaran yang monolog oleh guru terasa
benar miskin makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya ingat
siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas cermat.
Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan
sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa
sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan
masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah
tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai
aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan
menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di
jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang akrab di
masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas penyakit
jantung.
Siswa bukan hanya terbunuh secara fisik karena
tawuran, tetapi juga terbunuh bakat dan potensinya. Banyak talenta siswa yang
semestinya bisa dikembangkan dalam bidang olahraga, seni, bahasa, atau
jurnalistik, hilang sia-sia akibat “mabuk” belajar fisika dan matematika.
Dampak Dari
Tawuran
Dari aspek fisik,tawuran dapat menyababkan kematian
dan luka berat bagi para siswa. Kerusakan yang parah pada kendaraan dan kaca
gedung atau rumah yang terkena lemparan batu.sedangkan aspek mentalnya ,
tawuran dapat menyebabkan trauma pada para siswa yang menjadi korban, merusak
mental para generasi muda, dan menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Seorang kawan secara berkelakar mengatakan lebih
enak bekerja daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7
jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah pukul 7 sampai
13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat malam hari
siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6 hari
perminggu.
Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap overload ini?
Karena sudah “terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua
programnya. Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan?
Itulah masalahnya. Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”. Mereka
lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan kualitas pendidikan.
Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat mereka tidak berani melakukan
perubahan. Sebab, mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih
baik “adem ayem” kenaikan pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.
Cara
mengatasi Terjadinya Tawuran
Setelah kita tahu akar permasalahannya , sekarang
yang terpenting adalah bagaimana menemukan solusi yang tepat untuk
menyelesaikan persoalan ini. Dalam hal ini, seluruh lapisan masyarakat yaitu,
orang tua , guru/sekolah dan pemerintah.
Pendidikan yang paling dasar dimulai dari rumah.Orang
tua sendiri harus aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik juga barangkali perlu
dirubah.Orang tua seharusnya tidak mendikte anak, tetapi memberi
keteladanan.Tidak mengekang anak dalam beraktifitas yang positif. Menghindari
kekerasan dalam rumah tangga sehingga tercipta suasana rumah yang aman dan
nyaman bagi tumbuh kembang si anak Menanamkan dasar-dasar agama pada proses
pendidikan. Tidak kalah penting adalah membatasi anak melihat kekerasan yang
ditayangkan Televisi. Media ini memang paling jitu dalam proses
pendidikan.Orang tua harus pandai-pandai memilih tontonan yang positif sehingga
bisa menjadi tuntunan buat anak.Untuk membatasi tantonan untuk usia remaja
memang lumayan sulit bagi orang tua.Karena internetpun dapat diakses secara
bebas dan orang tua tidak bisa membendung perkembangan sebuah teknologi Filter
yang baik buat anak adalah agama dengan agama si anak bisa membentengi dirinya
sendiri dari pengaruh buruk apapun dan dari manapun.Dan pendidikan anak tidak
seharusnya diserahkan seratus persen pada sekolah.
Peranan sekolah juga sangat penting dalam
penyelesaian masalah ini. Untuk meminimalkan tawuran antar pelajar, sekolah
harus menerapkan aturan tata tertib yang lebih ketat, agar siswa/i tidak
seenaknya keluyuran pada jam – jam pelajaran di luar sekolah. Yang kedua peran
BK ( Bimbingan Konseling harus diaktifkan dalam rangka pembinaan mental siswa,
Membatu menemukan solusi bagi siswa yang mempunyai masalah sehingga
persoalan-persoalan siswa yang tadinya dapat jadi pemicu sebuah tawuran dapat dicegah.
Yang ketiga mengkondisikan suasana sekolah yang ramah dan penuh kasih sayang .
Peran guru disekolah semestinya tidak hanya mengajar tetapi menggatikan peran
orang tua mereka. Yakni mendidik.Yang keempat penyediaan fasilitas untuk
menyalurkan energi siswa. Contohnya menyediakan program ektra kurikuler bagi
siswa.Pada usia remaja energi mereka tinggi, sehingga perlu disalurkan lewat
kegiatan yang positif sehingga tidak berubah menjadi agresivitas yang
merugikan.
Dalam penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler Ini
sekolah membutuhkan prasarana dan sarana, seperti arena olahraga dan
perlengkapan kesenian, yang sejauh ini di banyak sekolah belum memadai, malah
cenderung kurang. Oleh karenanya, pemerintah perlu mensubsidi lebih banyak lagi
fasilitas olahraga dan seni. Dari segi hukum demikian juga.Pemerintah harus
tegas dalam menerapkan sanksii hukum Berilah efek jerah pada siswa yang
melakukan tawuran sehingga mereka akan berpikir seratus kali jika akan
melakukan tawuran lagi.Karena bagaimanapun mereka adalah aset bangsa yang
berharga dan harus terus dijaga untuk membangun bangsa ini.
Perubahan sosial yang diakibatkan karena sering
terjadinya tawuran, mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan. Selain
itu,menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek hubungan social masyarakatnya.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan
pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja
(juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat
digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
- Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
- Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah para remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.
Dalam bukunya yang berjudul “Dinamika Masyarakat
Indonesia”, Prof. Dr. Awan Mutakin, dkk berpendapat bahwa sistem sosial yang
stabil ( equilibrium ) dan berkesinambungan ( kontinuitas ) senantiasa
terpelihara apabila terdapat adanya pengawasan melalui dua macam mekanisme
sosial dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial (kontrol sosial).
- Sosialisasi maksudnya adalah suatu proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adapt istiadat ( norma ) suatu kelompok yang ada dalam sistem social , sehingga lambat laun yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari kelompok yang bersangkutan.
- Pengawasan sosial adalah, “ proses yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi norma dan nilai”. Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian atau pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. (Soekanto,1985:113).
terima kasih tugas saya bisa selesai
BalasHapusterima kasih, ini membantu banget
BalasHapus